Sunday, May 2, 2010

Kue dan Dermawan

Adi menghampiri sebuah toko makanan. Ia berdiri di depan kaca toko. Di balik kaca tersusun rapi beraneaka macam kue dengan bentuk yang menarik. Ia menelan ludah sedikit. Dilhatnya lekat-lekat, satu pesatu, kue-kue yang terpajang cantik di toko itu. Pandangannya jatuh ke sepotong kue berbentuk segitiga. Kue itu terdiri dari tiga lapis. Bagian bawah berwarna coklat, lapisan tengah merupakan selai ungu yang tebal, dan lapisan atas berwarna putih pucat. Ia menabak rasa potongan kue tersebut. “Hmm, coklat, blueberry, vanilla. Pasti lezat”, batinnya. Di bagian atas potongan kue terdapat lelehan coklat yang telah membeku, dihiasi dengan potongan stoberi dan anggur. Kemudian pandangannya tergeser ke sebuah papan kecil di samping kue, bertuliskan rupiah yang harus dikeluarkan untuk menyantap potongan kue tersebut. Rp 13.999,00. Adi mengingat-ingat apakah uang di dompetnya mencapai jumlah tersebut. Ia teringat tadi pagi, sebelum berangkat sekolah, kakaknya yang baru pulang dari Singapura memberikan selembar uang berwarna biru; lima puluh ribu rupiah. Dengan gembira Adi memasuki toko tersebut. Seorang wanita cantik penjaga toko tersenyum ramah padanya. “Mau beli apa dek?”, Tanya wanita itu sambil menatap ke mesin uang yang ada di hadapannya. “Yang itu, Mbak”, jawab Adi sambil menunjuk ke potongan kue coklat yang diincarnya. “Satu potong saja?”. Adi mengiyakan. “Baik, ditunggu ya. Kue ini memang resep terbaru yang didatangkan dari ItalLy, Anda tidak akan melupakan cita rasa kue yang lezat ini”, Kata wanita penjaga toko sambil terus tersenyum, tapi tidak menatap Adi. Yang ditatapnya hanya mesin uang dihadapannya. Kue itu kemudian dibungkuskan dengan sebuah plastic mika yang bentuknya mengikuti bentuk potongan kue, dan diletakkan tepat di depan kepala Adi yang tingginya hamper sama dengan meja kasir. Adi merogoh saku celana biru tua yang dipakainya. Anak yang baru masuk kelas satu SMP ini memang belum terbiasa membawa dompet. Pertama ia merogoh saku kanan celananya. Sang uang kertas berwarna biru tidak ada. Mesin uang berbunyi. Wanita penjaga toko telah mencatat dan menge-print tanda pembayaran untuk kue tersebut. Adi kemudian ganti merogoh saku kiri celananya. Tidak ada. Kedua tangannya lalu dimasukkan ke dua saku bekang celananya. Tidak ada juga. Kemudian ia mencoba melihat saku bajunya. Yang ada hanya dua lembar uang seribuan.

Adi mengingat-ingat dimana seharusnya uang lima puluh ribu itu berada. “ah!” Adi spontan berteriak. Ia ingat sekarang. Tadi pagi setelah menyimpan uang lima puluh ribu dari Akbar, kakaknya, Adi diajak berbicara oleh Bi Inah. Bi Inah yang melihat Adi diberi uang lima puluh ribu oleh Akbar bermaksud meminjam uang tersebut untuk membeli obat sakit kepala. Bi Inah memang beberapa hari yang lalu mengaku tidak bisa tidur karena sakit kepala. Bi Inah adalah pengasuh Adi sejak kecil, wajar saja bila Bi Inah lebih mudah bersikap terbuka kepada Adi daripada anggota keluarga lainnya. Adi merasa iba pada Bi Inah, kemudian memberikan uang lima puluh ribu tersebut kepada Bi Inah. Ia berkata dalam hati bahwa akan mengikhlaskan uang tersebut kepada Bi Inah dan tidak akan menganggapnya sebagai hutang. Akhirnya ia berangkat sekolah dengan uang saku lima ribu rupiah seperti biasanya. Di sekolah ia telah membeli minuman ringan seharga tiga ribu rupiah, dan kini hanya tersisa dua ribu.

Wanita cantik penjaga toko menatap Adi, menunggu Adi menyerahkan uang untuk membayar kue. Adi tidak tahu harus bicara apa. Kue telah dibungkus dan tanda pembayaran sudah dicetak. Ia melihat tulisan di samping mesin penghitung uang; BARANG YANG SUDAH DIBELI TIDAK BOLEH DIKEMBALIKAN. Adi kemudian tergagap-gagap menjelaskan kisahnya pagi tadi, hingga bagaimana ia bisa sampai lupa bahwa ia tidak membawa uang. Wanita cantik yang tadi tersenyum ramah kini berubah raut mukanya. Kedua alisnya bertaut, suaranya meninggi. Ia tidak mau mendengar penjelasan Adi dan terus saja menyerocos dengan omelannya. Adi yang bingung segera ambil langkah seribu, kabur dari toko kue itu.    

Adi segera pulang ke rumah. Kakak dan ibunya sedang berbincang-bincang. Adi segera menuju kamarnya dan langsung tertidur pulas. Jantungnya masih berdebar-debar. Tapi lelah luar biasanya akibat kabur dari omelan nenek sihir cantik itu telah membuat matanya tak mampu terbuka. Ia harus beristirahat.

Pukul 7.00 malam Adi terbangun. Di ruang tamu terdengar berisik sekali. Setelah cuci muka, Adi berjalan gontai menuju asal suara. “Adi, ayo ke sini. Kakak kenalkan dengan seseorang”, Akbar memanggilnya dengan sumringah. Adi bergabung ke ruang tamu. Di situ dilihatnya ibu, ayah, Akbar, dan… nenek sihir cantik tadi sore! “Ini pacar Kakak, namanya Dewi.” Akbar mengenalkan. Adi dan wanita itu bertatapan sejenak. Di wajah wanita itu kembali tersungging senyum ramah. “Halo” kata wanita itu sambil mengulurkan tangannya. Adi membalasnya dengan ragu-ragu. “Kak Dewi ini baik sekali, loh, Dek. Ini dia bawain kue coklat enak, gratis. Coba kalau beli di toko, pasti mahal banget. Contoh Kak Dewi ini ya, jadi orang harus dermawan, nggak boleh pelit-pelit.” Kata ibu dengan bahagia. Ibu memang selalu mengajarkan kepada Adi tentang kedermawanan dan sangat menyukai orang yang dermawan. Adi mengedip-ngedipkan matanya, kemudian mengucak-ngucaknya. Ia ingin memastikan apakah wanita itu adalah wanita yang ia temui di toko kue tadi sore. Kemudian ia melihat kue yang terletak di meja tamu. Satu loyang kue yang diselimuti lelehan coklat, di atasnya ada potongan buah stroberi dan anggur. Adi segera memotong kue tersebut. Di dalamnya ada tiga lapis, persis seperti kue yang dilihatnya tadi sore. Ia benar-benar tidak mengerti dengan sikap wanita tersebut. Tadi sore ketika Adi tidak membawa uang untuk membayar kue, wanita ini memarahinya tanpa ampun. Kini tiba-tiba ia ada di ruang tamu rumahnya, duduk manis dengan senyum ramah, bahkan ibu telah menyebutnya dermawan karena telah dibawakan satu loyang kue.  Adi segera mengambil sepotong, lalu memindahkannya ke piring kecil. “Ibu, kue ini sepotong harganya Rp 13.999,00. Mbak, kue tadi sore yang sudah terlanjur dibungkus dan dicetak tanda pembayarannya, nanti ditagih ke ibu saya saja ya uangnya.” Kata Adi sambil membawa potongan kue itu keluar dari ruang tamu, kemudian duduk santai di depan tv sambil menikmati kue.    

>>tugas apsas juga ni.. ^o^

1 comment:

  1. Cerpennya bagus,,
    cuman ada beberapa hal yang masih kurang srge ajha,,
    terus klimaksnya ga terlalu keliatan dan pas bagian akhir,, ceritanya serasa masih ngegantung.

    EHm,, kayanyan lebih bagus dech kalo di jelasin juga hikmah dari cerita itu, biar pembaca paham juga apa yang dimaksudkan oleh penulis.

    Tapi,, Cerpennya bagus bangeth ko,,
    kamu cocok jadi seorang sastrawan ^^

    tetap semangat dan teruslah berkarya,,
    GUDLAK yhaa :)

    ReplyDelete