Sore tadi cukup dingin, saya bersama seorang teman satu Lab yang berasal dari Mongolia menikmati makanan hangat di kantin kampus. Kami mengobrol sana-sini, bercerita ke sana kemari. Berasal dari “alam” yang berbeda, saya dari tropical country dan sang teman ini dari negara yang saat musim dingin bisa mencapai -30 derajat Celcius di malam hari, kami bertukar cerita tentang hal-hal yang satu sama lain belum pernah jumpai.
Ia meng-google kata “mango” di mesin pencari smart phone-nya, mengklik “images” lalu memperlihatkannya kepada saya.
“Di negara kamu ada buah ini ya?”, katanya.
“Emm!”, jawab saya mantap sambil mengangguk.
“Udah pernah makan dong?”
“Tentu dong. Nenek saya punya dua pohon mangga yang kalo lagi berbuah buannyakk banget.”
“Saya baru pernah makan dried-mango, belum pernah makan yang masih segar seperti di gambar ini. Rasanya sama nggak?”, tanyanya sambil tersenyum.
“Saya belum pernah makan dried-mango,” saya mencoba mengingat-ingat, dan tak bisa menemukan bagaimana rasanya dried-mango. “Nanti deh coba saya beli di sini terus saya ceritain ke kamu seberapa beda sama buah aslinya.”
Mata kami kembali pada mangkuk dan makanan masing-masing, hingga kemudian saya mengangkat kepala dan menatapnya.
“Seriusan, belum pernah makan mangga? Sekali-pun, nyobain, belum pernah?”
Ia menggelengkan kepala. “Di negara saya cuma ada apel, jeruk, pisang, hemmm apa lagi yah..”, katanya sambil mencoba mengingat-ingat. “Gak mudah menanam buah di negara kami, kami mengimpor”, lanjutnya.
Ia kembali menatap layar smart phone-nya, men-scroll ke bawah. Jemarinya berhenti saat matanya menangkap salah satu gambar yang kemudian diperlihatkan ke saya. Gambar mangga yang dipotong “bunga” kalau sebutan ibu saya. Mangga tanpa dikupas dipotong sejajar bijinya, kemudian dibuat garis-garis vertikal dan horizontal sehingga daging buahnya jadi kotak-kotak tapi tetap melekat pada kulit mangga dan setelah permukaan kulit mangga ditekan sedikit jadilah nampak seperti bunga yang mekar.
Teman saya ini menatapnya, benar-benar menatapnya, sambil tersenyum.
“Kamu udah pernah makan yang di-kayak-gini-in juga?”, tanyanya masih sambil tersenyum.
“Iya. Waktu masih SD saya sering makan mangga digituin, hehe..”, jawab saya sambil heran dengan cara dia melihat gambar itu.
Saya memperhatikan teman saya yang masih memandangi gambar itu, mencoba-coba menerka apa yang sedang ia pikirkan.
Mungkin dia menyadari betapa lama ia memandangi gambar itu sehingga ketika akhirnya pandangan kami bertemu kembali, kami tersenyum dan melepas tawa. Ya, dia pengen nyobain makan mangga terutama yang dipotong bunga. Sangat pengen, kelihatannya. Sebagaimana saya pengen bertemu kangguru dan koala, mungkin makan buah mangga beneran bagi teman saya ini seperti mimpi. Sesuatu yang dia anggap mustahil akan pernah dialaminya. Seketika itu, saya benar-benar merasa seperti orang kaya. Seketika itu, saya baru menyadari betapa beruntungnya pernah merasakan makan mangga yang masih segar. Seketika itu saya baru sadar bahwa saya selama ini tidak pintar mengapresiasi salah satu kesempatan luar biasa yang Allah berikan; menikmati buah mangga.
فَبِاَيِّ اٰلَٓاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?"
(QS Ar-Rahman ayat 13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, dan 77)